Madrasah di Indonesia Sebagai Tumpuan Pendidikan Islam

 Oleh: Badrudin | Sekjen PB PGMNI dan Guru MTs Negeri 3 Bogor


mgmpppknmtsjabar.or.id. | Diakui atau tidak, haruslah diakui bahwa keberadaan madrasah begitu penting dalam melahirkan kader-kader bangsa yang memiliki intelektualitas tinggi dengan wawasan ke-Islaman sekaligus memiliki kesadaran yang tinggi atas prinsip nasionalisme. Selain itu, madrasah memiliki kelebihan dalam kegiatan pembelajaran yaitu melakukan transformasi ilmu yang berkeseimbangan antara duniawi dengan ukhrowi, antara iman dan taqwa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Madrasah merupakan subsistem dari pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Madrasah secara legal hukum telah diakui merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional dan hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sehingga keberadaan madrasah benar-benar telah diakui dan disederajatkan dengan lembaga pendidikan lainnya.

Pendidikan Islam di Indonesia awalnya berlangsung secara non klasikal di masjid atau pondok pesantren dengan cara dan bentuk yang masih tradisional. Sementara itu pemerintah kolonial Belanda membuka sekolah-sekolah yang berbasis pengetahuan umum untuk kepentingan menghasilkan tenaga kerja pribumi yang akan diperbantukan dalam bidang administrasi pemerintah jajahan. Pendirian sekolah oleh Belanda dimulai tahun 1897 yang kemudian diminati oleh masyarakat mulai dari Sekolah Rakyat (Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang merupakan sekolah setingkat SD sekarang sampai membuka Sekolah Lanjutan (Meer Unigebride Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS) yang merupakan Sekolah Menengah Umum yang didirikan di Yogyakarta, 5 Juli 1919. Diminati oleh masyarakat karena bersekolah di sekolah Belanda berbiaya murah dan mata pelajarannya praktis juga lebih menarik karena memiliki prospek untuk bisa diterima di sebagai pegawai pemerintah. HIS, MULO, AMS adalah cikal bakal sekolah yang saat ini kita kenal yaitu SD, SMP, dan SMA.


Karena masyarakat banyak yang tertarik untuk menyekolahkan putera-puterinya di sekolah Belanad, maka beberapa pondok pesantren mulai memberikan pelajaran umum tidak hanya pelajaran agama agar masyarakat tidak meninggalkan pendidikan agama di pondok pesantren. Perubahan bentuk dan sistem pembelajaran di pondok pesantren ini kemudian disebut dengan Madrasah dan yang pertama kali dilakukan adalah dengan melaksanakan pembelajaran secara klasikal dengan kelengkapannya seperti kursi, meja, dan papan tulis secara sederna setelah itu mengadopsi pelajaran umum, meskipun perbandingannya masih cenderung lebih banyak pelajaran agama. Jadi, latar belakang berdirinya madrasah antara lain karena masyarakat mebutuhkan pelajaran umum untuk kepentingan kehidupannya bukan hanya pelajaran agama dan sebagai respon terhadap sistem pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda serta semangat reformasi yang dilancarkan masyarakat muslim karena adanya kekhawatiran berkembang pesatnya sekolah-sekolah umum yang akan melahirkan sikap dan pemikiran sekuler dikalangan masyarakat.

 

Menurut penelitian Mahmud Yunus yang juga seorang praktisi Pendidikan Islam, madrasah pertama yang berdiri di Indonesia adalah Madrasah Adabiah (Adabiah School) di Minangkabau (Padang), Sumatera Barat. Madrasah Adabiah didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini hidup sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi HIS Adabiah pada tahun 1915 yang merupakan HIS pertama di Minangkabau yang memasukan pelajaran agama Islam dalam pengajarannya. Syekh DR. Abdullah Ahmad (lahir di Padangpanjang, 1878 dan meninggal di Padang, 1933) adalah seorang ulama reformis yang juga pendiri Persatoean Goeroe-Goeroe Agama Islam (PGAI) di Padang pada Tahun 1919 yang kemudian diakui sebagai satu Perkumpulan Islam yang saat itu disebut Rechts Person No. 67 Tahun 1920 Tertanggal 7 Juli 1920 serta turut membidani lahirnya Perguruan Sumatera Thawalib Padangpanjang pada Tahun 1921 di Surau Jembatan Besi yang telah berdiri sejak 1914 sebagai cikal bakal Sumatera Thawalib di Sumatera Barat. Abdullah Ahmad menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia tahun 1899. DR. Haji Abdullah Ahmad kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, bersama Abdullah Karim Amrullah ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar Doktor Kehormatan (1926) dari Universitas Al-Azhar, yang diterimanya di tengah Kongres Khilafat persidangan akbar ulama-ulama Islam sedunia di Kairo (Mesir), yang memberikan penghargaan (Honoris Causa) dibidang pendidikan agama yang mengajar di Padangpanjang.

 

Setelah Adabiah School berdiri, berikutnya berdiri madrasah yang muncul pada kurun waktu yang hamper bersamaan yaitu pada awal Abad ke-20 M. madrasah tersebut antara lain Al Jami’ah Islamiyah di Sungayang Batusangkar yang didirikan Mahmud Yunus pada bulan Maret 1931, Normal Islam (Kuliah Mu’alimin Islamiah) yang didirikan oleh PGAI di Padang yang juga dipimpin oleh Mahmud Yunus. Jadi, Mahmud Yunus memimpin 2 (dua) madrasah dalam waktu yang bersamaan. Bedanya, yang satu tingkat menengah dan yang satu pendidikan tinggi. Kemudian ada Islamic College yang didirikan oleh Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang pada tanggal 1 Mei 1931 dipimpin oleh Mr. Abdul Hakim yang kemudian digantikan Muhtar Yahya pada tahun 1935. Kemudian beberapa madrasah lain berdiri, diantaranya Training College yang didirikan oleh Nasrudin Thaha di Payakumbuh tahun 1934, Kuliah Muballighin/Muballighat didirikan oleh Muhammadiyah di Padang Panjang, Kuliah Muslimat Islamiah didirikan Rgk. Ramah al Yunusiah di Padang pada tanggal 1 Februari 1937, Kuliah Diniah didirikan Syekh Ibrahim Musa di Parabek tahun 1940 dan dipimpin oleh H. Bustami A Gani, Kuliatul Ulum didirikan oleh Thawalib di Padang Panjang dan dipimpin oleh Engku Mudo Abdul Hakim, Modern Islamic College didirikan St. Sulaiman dan kawan-kawan di Bukittinggi.

 

Gerakan pembaharuan Pendidikan Islam di Jawa telah dilakukan oleh beberapa pondok pesantren, seperti Pondok Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Hasyim As’ari pada tahun 1899 M telah mulai mengajarkan pelajaran membaca dan menulis huruf latin, Bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia dan berhitung. Madrasah Mamba’ul Ulum di Kesultanan Surakarta yang berdiri pada tahun 1905 M, lalu ada Pondok Pesantren Modern Gontor Darussalam di Gontor Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur didirikan oleh KH. Imam Zarkasy yang merupakan salah seorang alumni dari Normal Islam (Kuliah Mu’alimin Islamiyah) pimpinan Mahmud Yunus di Padang. Dalam perkembangannya ternyata Pondok pesantren Gontor lebih maju dan popular dari almamaternya, karena sejak tahun 1936 sudah menerapkan sistem Pendidikan Islam modern dengan mengadopsi sistem Pendidikan di Normal Islam. Gontor kini telah menjadi ikon madrasah/pondok pesantren di Indonesia, karena melakukan berbagai Langkah revolusioner dalam Pendidikan Islam, salah satunya adalah menerapkan dua Bahasa asing (Inggris dan Arab) dalam percakapan atau komunikasis sehari-hari dalam kehidupan di pondok pesantren dan telah melahirkan banyak kader bangsa yang memiliki daya intelektualitas tinggi dan berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Kekuatan manajemen Gontor ada pada pola kaderisasi, sehingga tidak khawatir terjadi kepunahan generasi. Kapanpun pemimpin Gontor berakhir, Lembaga Pendidikan Islam itu tidak akan terganggu karena kader pengganti sudah disiapkan.

 

Tidak hanya di Sumatera dan Jawa, di Sulawesi Selatan juga terjadi pendirian madrasah dengan dukungan dari para raja yang ada disana kepada para ulama, da’I dan guru-guru agama. Seperti Raja Gowa Imangimangi Daeng Matuju Karaeng Baritonompo Sultan Mohamad Tahir Muhibudin mendirikan madrasah Islamiah bertempat di Jonggawa, Gowa. Madrasah ini dibuka beberapa bulan setelah Sultan M Tahir naik tahta di Gowa pada tahun 1936. Murid-murid yang belahar dimadrasah ini kebanyakan berasal dari Takalar, Jeneponto, dan Gowa. Ketika terjadi perang dunia kedua, madrasah ini terpaksa ditutup.

 

Dalam perkembangannya, Lembaga-lembaga dan organisasi Islam yang lain tertarik dan bergerak mendirikan madrsah ataupun sekolah dengan nama, jenis, dan jenjang yang variative diantaranya Muhammadiyah dihitung sejak K.H. Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan “Sekolah Agama Modern” bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), 1 Desember 1911. Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (selanjutnya disebut Mu’allimin) didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 dengan nama “Qismul Arqa” yang kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah (tahun 1920), lalu menjadi “Kweekschool Muhammadijah” (1924). Baru pada Kongres Muhammadiyah tahun 1930 di Yogyakarta berubah menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimaat Muhammadiyah”. Setahun kemudian madrasah ini dipisah, Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah (khusus putra) berlokasi di Ketanggungan, Yogyakarta dan Madrasah Mu'allimaat Muhammadiyah (khusus puteri) berlokasi di Kampung Notoprajan Yogyakarta. Madrasah Muallimin Muhammadiyah merupakan salah satu sekolah yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Sekolah ini didirikan pada tahun 1918 oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk menyediakan guru-guru bagi sekolah Muhammadiyah yang jumlahnya sedikit saat itu. Dalam perkembangannya, sekolah ini berganti nama hingga menjadi Madrasah Muallimin yang bertahan hingga saat ini. Mathlaul Anwar di Menes, Banten dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Madrasah Diniah. Persatuan Umat Islam (PUI) pada tahun 1927 mendirikan Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Pertanian. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) tahun 1928 mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Awwaliyah, Tsanawiyah, dan Kuliah Syariah. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) mendirikan Madrasah Awwaliyah, Ibtidaiyah, Mu’alimin Wustha, dan Mu’alimin Ulya. Di Tapanuli dan Medan berdiri Alwasliyah (1930) mendirikan madrasah Tajhiziyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul’aly dan Tahassus.

 

Pada masa kemerdekaan seperti saat ini, jumlah madrasah terus bertambah dan berkembang. Ada madrasah yang didirikan oleh pondok pesantren ada juga madrasah yang didirikan oleh masyarakat diluar pondok pesantren. Yang menarik dan patut direnungi bahwa keberadaan madrasah swasta lebih banyak dibandingkan dengan madrasah yang didirikan oleh negara dengan status negeri. Jumlah madrasah per Semester Genap Tahun Pelajaran 2020/2021 sebanyak 83.548 madrasah. Jenjang madrasah terbanyak berada pada jenjang Raudlatul Athfal (RA) yakni sebanyak 30.148 RA atau setara dengan 36.08%. Kemudian disusul jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 25.840 MI (30,92%), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebanyak 18.380 MTs (21,99%) dan sisanya Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 9.150 MA (11,01%).

 

Apabila dilihat berdasarkan provinsi, persebaran madrasah didominasi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah madrasah terbanyak, yakni mencapai 20.378 madrasah. Itu artinya persentase madrasah di Jawa Timur sebanyak 24,39%. Berikut ini adalah 10 besar provinsi dengan jumlah madrasah terbanyak tahun 2021 (Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (Data EMIS):

1.     Jawa Timur sebanyak 20.378 madrasah;

2.     Jawa Barat sebanyak 15.575 madrasah;

3.     Jawa Tengah sebanyak 11.408 madrasah;

4.     Sumatera Utara sebanyak 4.548 madrasah;

5.     Banten sebanyak 4.018 madrasah;

6.     Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 2.961 madrasah;

7.     Sulawesi Selatan sebanyak 2.636 madrasah;

8.     Lampung sebanyak 2.420 madrasah;

9.     Riau sebanyak 1.998 madrasah; dan

10.  Sumatera Selatan sebanyak 1.825 madrasah.



Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa jumlah madrasah swasta lebih banyak dibandingkan dengan sekolah negeri, yaitu madrasah negeri sebanyak 4.010 lembaga (5 %) dan madrasah swasta sebanyak 78.408 lembaga (95%). Hal ini membuktikan bahwa kepedulian masyarakat Islam terhadap Pendidikan di Indonesia sangatlah tinggi dan masih berdiri serta tetap eksis melaksanakan misi Pendidikan Islam. Negara melalui Kementerian Agama Republik Indonesia hanya sebagian kecil saja mendirikan madrasah dengan status madrasah negeri. Penyebab sedikitnya jumlah madrasah negeri dibandingkan dengan madrasah swasta karena madrasah negeri diperoleh dengan cara “penegerian” dari madrasah swasta. Hal itu terjadi sejak tahun 1966 pemerintah mengijinkan madrasah swasta menjadi madrasah negeri, namun dalam perjalanannya tidaklah mulus dan lancar. Adakalanya kendalanya bukan pada kekurangan anggaran dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama semata, tapi seringkali terjadi keberatan dari pengelola madrasah swasta itu sendiri yang tidak bersedia madrasahnya dinegerikan. Jadi, kondisi ini semata-mata dipicu oleh ruhul jihad yang tetap dimiliki oleh para pengelola madrasah.

 

Sampai kini ada 5 (lima) jenjang madrasah yang masih berjalan dan secara perlahan jumlahnya terus bertambah, yaitu:

1.  Raudhatul Athfal/Bustanul Athfal (RA/BA)

RA/BA terdiri atas 3 (tiga) tingkat:

a.    Tingkat A untuk usia 3 – 4 tahun

b.    Tingkat B untuk usia 4 – 5 tahun

c.    Tingkat C untuk usia 5 – 6 tahun

2.  Madrasah Ibtidaiyah (MI)

MI merupakan pendidikan setara dengan SD yang memberikan mata pelajaran sedikitnya 30% mata pelajaran agama Islam dan sisanya 70% mata pelajaran umum sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3.  Madrasah Tsanawiyah (MTs)

MTs adalah madrasah yang setara dengan SMP dengan komposisi 30% mata pelajaran agama Islam dan 70% mata pelajaran umum.

4.  Madrasah Aliyah (MA)

Adala jenjang madrasah yang setara dengan SMA yang memberikan mata pelajaran agama Islam sebanyak 30% dan mata pelajaran umum 70%.

5.  Madrasah Diniyah (Madin)

Madin berfungsi untuk memberikan tambahan pengetahuan agama Islam kepada anak-anak. Ada 3 (tiga) tingkatan Madin:

a.    Madrasah Diniyah Awaliyah, yaitu madrasah diniyah tingkat permulaan dengan 4 (empat) kelas (4 (empat) tahun) dan 18 jam belajar setiap pekan.

b.    Madrasah Diniyah Wustha ialah madrasah diniyah tingkat pertama dengan 2 (dua) kelas (2 (dua) tahun), yaitu Kelas I dan Kelas II dengan 18 jam belajar setiap pekan.

c.    Madrasah Diniyah Ula, madrasah diniyah yang merupakan tingkat menengah atas dengan masa belajar 2 (dua) tahun dan jumlah jam belajar 18 jam setiap pekan.

 

Dalam pengembangan madarasah selanjutnya, Kementerian Agama Republik Indonesia telah membangun madrasah model, seperti Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC), Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MAN PK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan Negeri (MAKN), di seluruh Indonesia walaupun jumlahnya masih sedikit (MAN IC ada 24 lembaga, MAKN ada 2 (dua) lembaga) namun keberadaannya saat ini telah membuktikan bahwa madrasah dapat bersaing dengan Lembaga Pendidikan lainnya, termasuk sekolah. MAN IC didirikan untuk memenuhi kebutuhan SDM yang memiliki kualifikasi tinggi akan ilmu pengetahuan maupun teknologi dan sejalan dengan keimanan maupun ketaqwaan yang diinisiasi oleh Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie melalui BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) membentuk STEP (Science and Technology Equity Program) pada tahun 1996 yang kemudian dilimpahkan ke Kementerian Agama untuk dikelola pada tahun 2000 sekaligus terjadi perubahan nama dari SMU Insan Cendekia menjadi MAN Insan Cendekia. Prestasi MAN IC sangat membanggakan mulai dari tingkat nasional hingga internasional, antara lain Juara Olimpiade Kimia tingkat dunia di Denmark, Juara OSN, Sekolah dengan Nilai Rata-rata UN Tertinggi, lulusannya banyak yang diterima Perguruan Tinggi Negeri  Favorit Dalam dan Luar Negeri, seperti UI, ITB, UNPAD, UGM,  IPB, UNAIR, UNDIP, UIN, NUS (National University of Singapura), IIUM (International Islamic University Malaysia), Anadolu University Turki, Universitas Al Azhar, Kairo–Mesir, Kyoto University, Tokyo Instutute of Technology – Jepang, dan lain-lain.

 

Selain prestasi yang diraih, madrasah telah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang telah berkontribusi terhadap tegak berdirinya bangsa Indonesia dan kemajuan bangsa Indonesia, seperti Prof. Mahmud Yunus, KH. Hasyim As’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Wahid Hasyim, Rahmah L. Yunusiah, Mahfud MD, Hidayat Nur Wahid, KH R Moh. Adnan, Saifuddin Zuhri, Kyai Ali Darokah, Munawir Sadzali, Prof. Dr. Baiquni, Amin Rais, Muhammad Maftuh Basuni, dan tokoh lainnya. Dengan banyaknya tokoh yang dilahirkan oleh madrasah bukan berarti madrasah telah menjadi besar dan tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang jauh lebih besar. Yang pasti madrasah harus terus menerus menata dan memperbaiki diri sehingga pada saatnya bisa menjadi Lembaga Pendidikan yang berkelas dan diminati banyak masyarakat, bukan lagi menjadi Lembaga Pendidikan kelas dua atau menjadi alternatif pilihan jika mereka tidak diterima pada Lembaga Pendidikan/sekolah favorit serta terwujudnya Madrasah Mandiri Berprestasi.


Titik Nol Madrasah

Tugu Adabiah

Terletak di Simpang Kandang, 
Kota PadangSumatra Barat. Tugu ini didirikan oleh Pemerintah Kota Padang untuk mengenang bekas lokasi Perguruan Adabiah yang pernah ada sebelum dipindahkan ke lokasi baru di Jati sejak 1980. Letaknya berada dalam kawasan Pasar Raya Padang, bersebelahan dengan gedung Bioskop Raya Padang.
 

Adabiah merujuk pada madrasah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada 1909 di Padang. Sekolah tersebut tercatat sebagai perguruan Islam terawal yang didirikan di Indonesia. Setelah 1915, Adabiah School berubah menjadi HIS Adabiah sebagai sekolah berbahasa Belanda, tetapi belum menempati gedung tetap dan masih berpindah-pindah lokasi. Selama Agresi Militer Belanda II, HIS Adabiah sempat berpindah ke Kayu Tanam dan Padang Panjang. Pada 1950, lokasi Adabiah kembali menempati lokasi lama, tempat tugu ini dibangun, sebelum menempati lokasi baru di Jati sejak 1980.


Tugu Adabiah berbentuk seperti bambu runcing silinder terpotong, meruncing bagian atasnya, dan diapit seperti huruf S yang saling berhadap-hadapan. Tapak tugu berbentuk bidang segi empat yang bertumpuk empat yang disusun saling menyilang. Tugu ini disangga oleh bidang berbentuk balok yang dilapisi marmer.

 

Foto bersama Sekjen PGMNI, Departemen PB PGMNI, Ketum, Sekum PW PGMNI Sumbar, Prof. Dr. H. Eka Putra Mirwan (Ketua Pengurus Pusat PGAI) dan Pengurus PGAI di depan panti asuhan PGAI yang didirikan pada tahun 1930 di Padang, Sumatera Barat


Alhamdulillah, saya dapat berdiri di titik 0 (nol) madrasah di Indonesia, ditempat berdirinya madrasah pertama, madrasah tertua di Indonesia, Madrasah Adabiah/Adabiah School yang didirikan pada tahun 1909 oleh Dr. Abdullah Achmad di Padang, Sumbar. Dan disini pula di titik 0 (nol) pergerakan guru madrasah dengan berdirinya Persoeatoean Goeroe-Goeroe Agama Islam (PGAI) yang didirikan pada tahun 1920 oleh Dr. Abdullah Achmad, dan yg lainnya.

Semoga menjadi spirit pergerakan bagi PGMNI untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu meningkatkan kualitas guru madrasah, meningkatkan kualitas pelayanan Pendidikan madrasah, dan meningkatkan kesejahteraan guru madrasah. 

Semoga Allah meridhoi dan bermanfaat bagi kita semua.

 

----

 

 

Daftar Pustaka:

 

Karya Jurnalistik, JELAJAH MADRASAH. Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat. 2017

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, t.th.

www.hidayatullah.com

pasbana.com

 

dindoc.


Lebih baru Lebih lama