SEJARAH DAN MAKNA IDUL FITRI

 Oleh: Badrudin (Guru PPKn di MTs Negeri 3 Bogor)

SHOLAT ID : Pelaksanaan shalat Idul Fitri 1443 H di Kota Bogor, Jawa Barat 



Idul Fitri adalah salah satu hari raya bagi umat Islam diseluruh dunia yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada setiap tahun hijriyah dan setelah melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadhan. Namun, masih ada sebagian umat Islam yang belum tahu tentang sejarah maupun makna dari Idul Fitri itu sendiri.

 

Sejarah Idul Fitri  

Dalam sejarahnya jauh sebelum Agama Islam datang, masyarakat jahiliyah Arab telah memiliki dua hari raya, yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan yang dirayakan dengan sambutan pesta pora yang tidak bermanfaat. Minum-minuman memabukkan, menari, adu ketangkasan termasuk salah satu ritual dalam perayaan kedua hari raya tersebut. Berdasarkan buku Ensiklopedi Islam, kedua hari raya tersebut sejatinya berasal dari zaman Persia Kuno yang kemudian setelah Rasulullah SAW memperoleh wahyu mengenai kewajiban puasa Ramadhan, akhirnya kedua hari itu diganti menjadi hari yang lebih baik dengan perayaan yang baik pula, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

“Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: Kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain. Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud dan An-Nasa'i).

 

Selain itu, Rasulullah SAW memberikan peringatan untuk tidak meniru perilaku dari kaum Arab Jahiliyah dengan menjalankan dua hari besar mereka yaitu hari Nairuz dan Mihrajan. Sebagaimana sabdanya sebagai berikut:

“Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membangun negeri kaum ajam (selain Arab), kemudian meramaikan hari-hari Nairuz dan Mihrajan mereka, serta meniru mereka hingga ia mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat.” (Imam al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, juz 9, halaman: 234)


 

Dalam sejarah Islam, perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada tahun 624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah. Waktu perayaan tersebut bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Data tentang perang badar:

1.  Terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 H.

2.  Bertempat di lembah Badar.

3.  Penyebab:

a.    Pengusiran umat Islam dari Mekah oleh kaum kafir Quraisy.

b.    Penindasan terhadap umat Islam oleh kaum kafir Quraisy.

c.    Untuk memberi pelajaran kepada kaum Quraisy,

4.  Kekuatan kaum muslimin:

a.    300-an orang.

b.    70 ekor unta.

c.    2 (dua) ekor kuda.

5.  Kekuatan kaum kafir Quraisy:

a.    1000-an orang.

b.    700 ekor unta.

c.    300 ekor kuda.

6.  Korban:

a.    Kaum Muslimin: 14 orang meninggal dunia.

b.    Kaum Quraisy: 70 orang meninggal dunia dan 70 orang ditawan.

 

Dari data tersebut, perang yang terjadi pada Ramadhan itu dengan jumlah pasukan di sisi Muslim yang jauh lebih sedikit dibanding kaum kafir Quraisy dan pemenangnya adalah umat Islam. Dan dari kemenangan tersebut secara tidak langsung umat Islam merayakan dua kemenangan secara bersamaan, yaitu kemenangan atas dirinya sendiri dalam menunaikan ibadah di bulan Ramadhan dan kemenangan ketika perang Badar. Kemudian ganjaran yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin adalah dengan perayaan yang luar biasa indah dan barokah, yaitu Idul Fitri.

 

Pada perayaan Idul Fitri, setiap Muslim ditekankan untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan. Menjelang perayaan Idul Fitri umat Islam diwajibkan menunaikan zakat untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Segala kebaikan yang tercurah dari jiwa-jiwa kaum muslim selama Ramadhan, sejatinya sangat terasa pada hari raya Idul Fitri bagi semua elemen. Sehingga bisa dikatakan, perayaan Idul Fitri dapat melingkupi kebahagiaan bagi seluruh umat Islam dari berbagai kalangan.

 

Menurut Prof. HM Baharun, hakikat perayaan Idul Fitri sendiri sejatinya adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Umat Islam yang berhasil “menjinakkan” nafsu selama Ramadhan kembali fitrah dan layak untuk merayakannya dengan cara yang baik dan benar.

 

Pada masa Dinasti Abbasiyah, perayaan Idul Fitri dilakukan dengan rangkaian kegiatan yang meriah selama 3 (tiga) hari yang diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal yang disajikan. Dalam buku Empire of the Islamic World karya Robin Santos Doak dijelaskan, umat Islam yang berada di jalan-jalan Kota Baghdad dihibur dengan penampilan para musisi dan penyair yang menunjukkan kebolehan mereka. Tentu saja, hiburan tersebut bernilai positif dan tidak melanggar syariat.

 

Sedangkan Ege Yayinlari dalam Discover Islamic Art in the Mediterranean menyebutkan, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 M) di Mesir membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri. Di India, para sultan Dinasti Mughal melakukan arak-arakan bersama pengawal kerajaan dalam merayakan Idul Fitri. Sedangkan semasa periode Kesultanan Ottoman di Turki, ada tradisi membunyikan meriam setiap malam 1 Syawal dalam menyambut Idul Fitri. Meriam ditembakkan ke udara untuk menandai berakhirnya hari raya Idul Fitri.

 

Di Indonesia, tradisi halal-bihalal identik dengan perayaan Idul Fitri bagi warga Muslim Indonesia. Dalam buku Al Masalik wal Mamalik karya Ibnu Khordabdih dijelaskan, mayoritas watak masyarakat yang hidup sepanjang garis khatulistiwa merupakan orang-orang yang terbuka dan egaliter. Sikap tersebut pun identik dengan masyarakat Indonesia. Sikap terbuka dalam tradisi halal-bihalal yang dilakukan umat Islam tak jarang juga dilakukan oleh non-Muslim. Tak sedikit dari non-Muslim yang ikut bersilaturahim dan melakukan halal-bihalal saat Idul Fitri tiba.

 

Di sisi lain, budaya lokal dalam melaksanakan tradisi Idul Fitri juga banyak yang dijadikan tradisi umat Islam Indonesia secara nasional. Hal ini dapat dilihat ketika masyarakat Jawa diperkenalkan istilah Lebaran Ketupat oleh Sunan Kalijaga yang merupakan tradisi untuk ikut menyemarakkan perayaan Idul Fitri masyarakat Jawa ketika itu. Sunan Kalijaga mengajarkan masyarakat Jawa untuk membuat makanan dengan bahan utama beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa. Anyaman daun ketika itu identik dengan ciri khas budaya dan seni masyarakat Jawa. Sehingga bukan hal sulit bagi masyarakat Jawa ketika itu mengikuti apa yang diajarkan Sunan Kalijaga.

 

Secara filosofis Lebaran Ketupat memiliki makna yang mendalam. Kata ketupat yang berasal dari kata kupat dalam bahasa Jawa berarti mengakui kesalahan, sehingga dalam Lebaran Ketupat pun dikenal dengan istilah sungkeman, yaitu memohon maaf dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan.

 

Makna Idul Fitri

Hari raya Idul Fitri tidak sebatas sebagai peristiwa seremonial atas kemenangan menahan rasa lapar dan dahaga kala menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Namun, lebih dari itu, karena pada hari raya Idul Fitri Allah SWT akan menjanjikan ampunan terhadap hambanya yang menunaikan ibadah sholat sunnah Idul Fitri.

 

Dalam sebuah kitab berjudul Hasiyah al-Bujairami alal Khatib karya Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi menjelaskan bahwa dalam memaknai esensi hari raya tidak semata mengenai pakaian baru atau sesuatu serba baru, meskipun dianjurkan untuk mengenakannya. Namun, bukan itulah esensi dan makna sebenarnya mengenai Idul Fitri. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekh Sulaiman: “Allah SWT menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu, hari raya Jumat, hari raya fitri, dan Idul Adha. Semua itu, (dianggap hari raya) setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakaian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami alal Khatib, juz 5, halaman: 412).

 

Berdasarkan penjelasan dari Syekh Sulaiman maka dapat disimpulkan bahwa momen Idul Fitri tidak semata pakaian baru, namun kondisi dimana ketaatan seseorang turut bertambah. Selain itu juga bukan perihal apapun yang baru, melainkan terampuninya dosa-dosa. Meskipun demikian tidak disalahkan untuk mengenakan pakaian baru karena merupakan simbol bersih dan syiar Islam.

 

Demikian sekilas tentang sejarah dan makna Idul Fitri. Semoga bermanfaat.

----------

Sumber:

https://www.unpak.ac.id/khazanah-ramadhan/sejarah-perayaan-idul-fitri-dari-zaman-nabi-muhammad-hingga-kini

https://www.detik.com/jateng/berita/d-6669534/ternyata-begini-sejarah-dan-makna-idul-fitri/amp

Lebih baru Lebih lama