Oleh : DEDE ARIEF R. | Guru PPKn MTsN 10 Majalengka, Ketua MGMP PPKn MTs Kabupaten Majalengka
Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia meraih dan
mempertahankan kemerdekaan tak dapat disangkal memang
lebih dari separuh periodenya diwarnai kekerasan fisik dan perang. Beberapa
perang di berbagai pelosok di nusantara tercatatkan sebagai perang hebat dengan
para pemimpin yang hebat pula, gagah - berani dan tak kenal menyerah.
Sebutlah
Perang Aceh dengan sepasang “Arjuna”-"Srikandi" nusantara bernama Teuku
Umar - Cut Nyak Dien sebagai pemimpinnya. Merupakan salah satu perang terlama
dan terberat yang harus dihadapi Belanda. Kegagahan rakyat Aceh dalam berjuang
memepertahankan kedaulatannya, membuat Belanda tidak pernah benar-benar
dapat menguasai Tanah Rencong ini. Perang Diponegoro (Perang Jawa) meskipun
berlangsung relatif tidak lama, 5 tahun saja, namun kehebatan para pejuang
dibawah kepemimpinan Pangenan Diponegoro, membuat Belanda habis-habisan mengerahkan
prajuritnya, termasuk dari sisi dana perang. Hingga akhirnya mengambil cara
culas, menipu Pangeran Diponegoro untuk berunding, meskipun pada akhirnya ditangkap
dan diasingkan ke Makasar. Atau Perang Puputan Margarana di Bali yang melambungkan
heroisme I Gusti Ngurah Rai. Kemudian perang 10 November 1945 di Surabaya,
dengan pekik yang lalu menjadi iconic
"Merdeka atau Mati"-nya Bung Tomo. Guna mengenang dan menghargai
betapa dahsyatnya heroisme Arek-arek Suroboyo kala perang itu, pemerintah kemudian
menjadikan dan memperingati tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Paparan
diatas hanyalah sebagian chapter saja
dari melimpahnya peristiwa-peristiwa sejarah yang menghadirkan kisah-kisah
heroik bangsa ini di masa lalu.
Bercermin
dari perjalanan sejarah itulah, kita yakin dan tidak menyangkal bahwa dalam tubuh bangsa Indonesia mengalir darah
ksatria, darah pejuang (the patriot
blood) dengan karakter pemberani, teguh, keras dan tangguh menghadapi
segala tantangan. Darah mana yang kemudian secara turun menurun diwariskan pada
generasi bangsa selanjutnya.
Kini,
di dimensi kita sudah merdeka. Sejarah juga telah dan sedang terus menorehkan
penanya, menulis dengan detil fenomena serupa namun tak sama, yakni kekerasan
fisik, tawuran, dan
perang.
Setelah
sebelumnya, yakni pada awal-awal kemerdekaan dihadapkan pada perang karena
agresi militer Belanda serta meletusnya pemberontakan-pemberotakan berlatar belakang
separatis dan ideologis, mengganggu Indonesia sebagai negara yang baru belajar
menjadi negara. Kemudian ada perang antarsuku, perang antaretnis, perang
antarumat beragama, perang antarwarga, perang antarpelajar (populer disebut
tawuran), perang antarsuporrter bola, perang geng motor, perang antarormas
bahkan mahasiswa tak mau ketinggalan, banyak yang memilih cara perang untuk menyelesaikan
permasalahan di komunitas yang harusnya intelektual ini.
Menariknya, belum juga persoalan-persoalan ini reda (karena belum pula ditemukan formula penawar yang paten mengatasinya) kini muncul fenomena serupa yang cukup meresahkan, "Perang Sarung". Perang macam apa lagi ini? Semula penulis mengira, ini adalah perang yang orangnya bersarung. (haha...ribet amat ya, bila itu maksudnya? ) Eh,,, ternyata perang atau tepatnya adalah tawuran antaranak muda remaja, dimana sarung yang dimodifikasi sedemikian rupa, menjadi senjata yang bisa menyakiti bahkan mematikan ( dalam beberapa kasus yang terjadi, mengakibatkan tewasnya beberapa pelakunya). Luar biasa "kreatifitas" anak bangsa ini, membuat kita geleng-geleng kepala.
Apalagi
fenomena ini mencuat di saat kita sedang ada dalam Bulan Ramadhan, dimana kaum
muslim sedang menjalankan ibadah puasa. Alih-alih sekuat mungkin mengendalikan
hawa nafsu yang dapat merusak amalan puasa,
sehingga diharapkan bakal berdampak pada hadirnya ketenangan, kedamaian
dalam kehidupan masyarakat. Mereka malah diasuh,dikendalikan oleh
nafsunya. Saat menjelang shahur, malahan
beramai-ramai tawuran. Sungguh ironis. Bikin miris.
Inilah
daftar panjang catatan kekerasan dimana terjadi saling mengalahkan,
menghancurkan, mewarnai perjalanan bangsa. Hal yang kemudian secara realistis
sudah menjadi peristiwa yang biasa di negeri ini. Rentetan peristiwa serupa ini
seakan menjadi salah satu identitas (minus) baru bangsa ini.
Ya
minus, sebab kita ini mudah sekali bertikai,
saling bertikai, berkonflik, sesama anak bangsa pula ! Indonesia vs Indonesia ! Tepatlah kiranya sinyalemen Bung Karno dahulu ; "Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri". Ternyata inilah yang terjadi, terus terjadi
hingga sekarang.
Apakah
deretan peristiwa kekerasan di era kini berkaitan dengan karakter keras
bangsa yang diwarisi dari leluhur
bangsa, yang kemudian mengalamani distorsi karena objeknya saat ini bangsa
sendiri? Ataukah sebuah keniscayaan sejarah, bahwa kekerasan tak bisa hilang
dan akan selalu berulang untuk mewarnai setiap generasi? Soal tinggi dan
lebarnya kesenjangan kesejahteran dan keadilan, kerap disodorkan para cendekia
negeri sebagai faktor pemicu dan pemacu persoalan ini. Bisa jadi.
Ataukah
kambuhnya kelemahan (penyakit) bangsa
ini, yakni etnosentrisme, primordialisme,
fanatisme sempit atau faham-faham sektarian serupanya lainnya ? Sejalan waktu, mengikis, mendegradasi nilai nasionalisme, patriotisme, meneror
persatuan, merusak-koyak keakraban dan
persaudaraan sebangsa.
Ya
ibarat komorbid yang menguat menyertai penyakit utama. Membuat tubuh bangsa
menjadi sangat rentan dan rapuh. Tentu
kajian mendalam diperlukan untuk menjawabnya.
Apapun
itu penyebabnya, yang terpenting dan mendesak adalah kita baiknya segera
menemukan, membangun ulang dan merawat
rasa persatuan sebagai ujud nasionalisme.
Tanpa over dosis dalam narasi dan selfi, lalu menampakkannya dalam tindakan otentik.
Tiada lain untuk membuat Indonesia yang bersatu, berkemajuan berbasis kebhinekaan. Sehingga
terbangun dengan megah persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti sudah dengan susah payah
"vaksinnya" (nasionalisme)
disemai-tebarkan oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk.dengan Boedi Oetomo-nya,
Dikukuhkan Moh.Yamin dkk. dengan "booster" Ikrar Sumpah Pemuda-nya.
Dipuncaki tindakan agung Dwi Tunggal Soekarno-Hatta dengan pernyataan
Proklamasi Kemerdekaan.
Kebijakan,
tindakan ataupun narasi-narasi yang potensial mengganggu keharmonisan berbangsa
harus segera dihentikan. Tugas negara pula menyertainya dengan upaya
sungguh-sungguh, segera -bila perlu secara radikal dan ekstrim- mengangkat
derajat hidup rakyat, kesejahteraan umum
dan kemakmuran yang berkeadilan. Pola kehidupan yang beretika dan penuh
kedamain di level suprastrukutur maupun infrastruktur negara, akan menjadi
contoh hebat yang ikut mewarnai pola kehidupan dan suasana kebatinan di
masyarakat termasuk para remaja, generasi muda kita. Para agen penerus
perjuangan bangsa.
Mari
di bulan penuh rahmat berlimpah keberkahan ini, kita bersama memulai
merevitalisasi nilai-nilai dan semangat
nasionalisme dan persatuan dalam berbagai sendi dan lingkup kehidupan kita
sehari-hari untuk menggapai cita ; Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga soal
"Perang Sarung" dan perang-perang absurd lainnya hanya akan jadi
kerikil dijalanan yang akan digilas musnah oleh tangguhnya persatuan bangsa
ini. Aamiin.
Selamat
menikmati nikmatnya menanti berbuka puasa.
Sore
di Tanah Subur,
Salam
8
April 2023