Cerpen Karya : Adis Beldis Firmansyah, S.Sos | Guru PKn MTs Sabilul Huda Kabupaten Majalengka
Awal tahun 1998 aku di kirim Bapak ke Kalimantan, tepatnya Kota Pontianak. Untuk menempuh pendidikan di kota itu, diperlukan waktu satu hari satu malam tepatnya 36 jam dengan menggunakan kapal Pelni dari kotaku untuk sampai di kota itu. Pada waktu itu pesawat terbang belum sepopuler sekarang.
Untuk alasan lebih ekonomis, maka bapak ku pertama kali mengantarku ke pelabuhan Cirebon, untuk mengirim ku ke Pontianak. Kenapa mode tranportasi kapal laut itu, ku sebut ekonomis? karena tahun itu ongkos kapal Pelni sangat murah yang berada pada kisaran harga Rp. 64.000. Jika aku bandingkan dengan ongkos pesawat terbang waktu itu yang berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 300.000. Menggunakan moda transportasi laut lebih murah. Mode transportasi yang lumayan terjangkau, untuk bapak ku yang waktu itu hanya menjabat seorang kepala desa. Aku diantar bapak, naik mobil carry tahun 90-an, untuk sampai ke Pelabuhan Cirebon, yang menurut ku terasa lumayan mewah waktu itu. Mobil hasil pinjaman bapak dari kantor Kecamatan. Sesampainya di pintu pelabuhan, kami membayar peron atau karcis masuk pelabuhan, yang tidak terlalu mahal, seingat ku kisaran lima ribu rupiah. Setelah membayar peron di pintu masuk Pelabuhan.
Mobil carry tahun 90-an yang di naiki aku dan bapak ku, sampai ke bibir pelabuhan, hatiku terasa dag dig dug waktu itu antara was-was dan harapan, nasib baik akan selalu menyertaiku selama perjalanan nanti ke Kalimantan. Sesampainya di pinggir pelabuhan aku turun dari mobil, kemudian membawa keril kesayangan ku, tak lupa aku bersalaman dan minta do'a pada bapakku, supaya selamat sampai tujuan.
Aku bergegas naik ke Kapal, tangga demi tangga kapal aku lewati, dengan perasan penuh harap, bahwa aku bisa selamat sampai tujuan, kota Pontianak, yang belum pernah aku menginjakan kaki di pulau itu, setelah sampai di dek tujuh, dek paling atas sesuai dengan dek yang tertera di dalam tiket tiket, yang ku beli satu hari sebelum keberangkatan. Bapak ku kulihat melambaikan tangannya ke arahku dari bawah kapal di pinggir Pelabuhan di samping mobil carry tahun 90-an. Ibuku waktu itu tidak ikut, karena menjaga adikku yang masih kecil.
Angin laut yang terasa sejuk dan suara deru mesin kapal KM. Lawit jurusan Cirebon-Pontianak terasa begitu menderu, seperti suara bejana besar, yang sedang memasak air, bergemuruh. Dan kapal KM. Lawit buatan Negeri Jerman yang terlihat kokoh, kapal terlihat bersih dan indah, yang siap menembus ombak laut pulau Jawa.
Waktu itu tepat pukul 10.00 Pagi, entah harinya hari apa, aku lupa. Tapi, seingatku itu adalah hari Senin, karna untuk keberangkatan ku, ke Kalimantan tahun berikutnya, selalu hari Senin, dan di tiket kapal, jadwal keberangkatan kapal KM. Lawit Jurusan Cirebon-Pontianak selalu hari Senin, sehingga dapat dipastikan, kalau hari itu adalah hari Senin.
Jangkar kapal perlahan mulai dinaikan oleh ABK, Kapal pun perlahan mulai bergerak, nakoda kapal, di bantu dengan kapal pemandu, mulai mengarahkan kapalnya, menghadap ke arah laut jawa, suara kelakson kapal berbunyi DOT...DOT...terasa sangat keras, memekakkan telinga, kapal dengan kokohnya, bersiap akan mengarungi laut Jawa, KM lawit yang terdiri dari tujuh lantai, dengan susunan dek-dek kapal yang begitu rapi dan bersih. Tak terasa kapal pun menjauh berlalu, perlahan meninggalkan dermaga.
Aku yang sudah berada di dek tujuh, dek paling atas di kapal itu, termenung sendiri, dengan harapan dan pikiran yang menerawang jauh ke pulau Kalimantan.yang baru pertama kalinya aku berangkat menuju pulau itu, berat rasanya meninggalkan kampung halaman, bersama kepergian ku aku tinggalkan, adik ku, abang ku dan tentunya kedua orang tua ku, kampung halaman yang sudah ku tinggali berpuluh tahun. Terasa begitu dekat, dan pastinya menyimpan kenangan, dan kisah- kisah ku dari masa sekolah tingkat dasar, sampai menengah dan atas, aku bakal teringat teman kecilku, dan teman-teman remajaku. Kini harapanku dapat melanjutkan kuliah, sesuai dengan cita-cita dan keinginan untuk merantau ke negeri orang.
Karena aku sendiri berangkat dari kampung halaman, aku mencoba mencari teman di dek kapal itu, teman untuk sekedar ngobrol dan berbagi cerita, perlahan mulai ku buka tas kecil ku, aku ingat bekal dari ibu ku sebungkus plastik ukuran sedang, berisi makanan, bekal yang telah disediakan ibu ku di rumah, perlahan mulai aku buka bekal itu, ternyata makanan kecil berupa mie instan, roti, kopi, biskuit dan sebagainya, dengan penuh basa-basi bekal yang tadi aku bawa, ku tawarkan ke seseorang di sebelah ku, dengan nada rendah seorang kakek tua disebelahku, kutawari roti sobek, bekal yang kubawa dari ibu ku, kakek tua itu bilang, dia akan menengok cucunya yang berada di daerah pedalaman Kabupaten Sambas, kakek tua itu sudah tiga tahun tidak bertemu dengan cucu kesayangannya....