Broken Home dan Kehilangan Jati Diri pada Anak

 Oleh : Rani Yulia Purwanti, S.Pd. | Guru PPKn MTsN 2 Garut dan Pengurus FKK MGMP PPKn MTs Provinsi Jawa Barat

Keluarga memiliki arti yang mendalam dan pemahaman yang sangat luas, tergantung dari sudut pandang setiap orang. Pada umumnya keluarga merupakan kelompok kecil yang anggotanya teridiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga merupakan tempat kita berlindung, merasakan kenyamanan, dan tujuan akhir ketika kita merasa sedih, senang, kecewa hingga kembali bahagia. Memiliki keluarga yang lengkap dan utuh adalah harapan setiap orang, dimana setiap anggota keluarga dapat saling berbagi kasih sayang, tanggung jawab, memberikan motivasi dan kehangatan. Setiap orang akan menganggap bahwa tempat untuk pulang adalah keluarganya sehinga dalam segala kondisi yang dihadapinya, ia tetap akan pulang ke rumahnya. Namun hal tersebut berbanding terbalik ketika kondidi keluarga tidak utuh (broken home).


Keluarga yang tidak utuh (broken home) merupakan kondisi dimana sebuah keluarga mengalami perpecahan. Fenomena broken home, yaitu perceraian orang tua atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga, memang sering kali membawa dampak besar bagi perkembangan seorang anak. Salah satu dampak yang bisa muncul adalah perasaan kehilangan jati diri yang memengaruhi cara anak memandang dirinya, hubungan dengan orang lain, dan bahkan tujuan hidupnya. Mereka akan jauh lebih menderita karena akan lebih banyak lagi dampak negative yang mengikutinya. Anak yang mengalami broken home justru cenderung menarik diri atau minder, emosional, pendendam, brutal, susah diatur, tidak mudah menaruh kepercayaan pada orang lain, kecemasan dan ketakutan akan masa depan. 


Ketika seorang anak tumbuh dalam keluarga broken home mental dan psikisnya sudah rusak sejak dini, sehingga berpengaruh sampai masa remaja nanti. Mereka biasanya akan mencari perhatian di lingkungan sekolah ataupun masyarakat, karena kurangnya perhatian dari keluarganya akibat dari. Selain itu, dapat memunculkan kenakalan di masa remaja. Kenakalan remaja sendiri banyak bentuknya, ada yang bersifat merugikan diri sendiri dan orang lain, misalnya membolos sekolah, berkata kasar kepada orang tua, melanggar aturan sekolah, tawuran, dan juga penyalahgunaan narkoba.

 

Foto: Rani Yulia Purwanti (https://goart.fotor.com/)


Bagi anak yang tumbuh dalan keluarga broken home, dukungan emosional sangat penting. Masalah yang dihadapi anak dapat diatasi dengan berbagai cara. Peran orang tua sangat penting dalam mengembalikan jati diri anak. Meskipun telah berpisah, orang tua tetap harus mampu membangun komunikasi dua arah, karena orang tua bisa bertukar pendapat dengan anak, mampu memahami kondisi anak sehingga anak bisa merasa di hargai keberadaanya. Selain itu dapat dilakukan dengan cara bimbingan konseling. Layanan konseling menjadi salah satu jawaban untuk anak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga memiliki pemikiran yang positif dalam memaknai perpisahan. Selanjutnya, anak dapat menemukan jati dirinya kembali dengan pemberian motivasi di dalam konseling individu dan diharapkan dapat memudahkan memecahkan masalahnya secara mandiri.


Meskipun broken home bisa memberikan tantangan berat, bukan berarti anak-anak korban dari broken home tidak bisa berkembang menjadi pribadi yang kuat. Dengan pemahaman, dukungan, memberikan pendidikan tentang kesehatan mental, keterampilan mengelola emosi, dan bagaimana menjaga hubungan yang sehat juga sangat penting untuk membantu anak-anak mengembangkan jati diri yang stabil dan positif. Dengan adanya dukungan, kasih sayang, mereka bisa menemukan kembali keseimbangan dalam hidup dan meraih potensi terbaik mereka sehingga dapat menemukan kembali jati dirinya dan membangun kehidupan yang lebih baik di masa depan. 

Lebih baru Lebih lama